Negara hukum yang menganut sistem hukum civil law pada umumnya memberi tempat kepada hukum positif dalam pelaksanaan dan penerapan hukumnya yang tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangannya. Oleh karena itu norma tertulis menduduki peran yang penting dalam penegakan hukum negara, salah satu contohnya pada penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu undang-undang menjadi penting keberadaannya serta penting juga untuk disusun secara rinci dan cermat agar mampu mengakomodasi dan mengantisipasi serta memberi perlindungan hukum terhadap setiap perilaku kejahatan dan pelanggaran hukum. Namun pada realitanya di masyarakat, hukum selalu berjalan tertatih-tatih dalam menangani peristiwa hukum yang juga terus berkembang. Sehingga akan nampak bahwa undang-undang yang seharusnya dapat menjawab setiap persoalan hukum justru cepat atau lambat tertinggal oleh fenomena-fenomena hukum yang terus berkembang. Ketertinggalan tersebut seharusnya diikuti dengan pembaharuan hukum yang benar-benar bisa menggambarkan setiap persoalan yang akan timbul di masa mendatang. Bukan justru membiarkan jurang ketertinggalan dan kekosongan hukum semakin lebar karena terkikis dengan perubahan tatanan sosial di tempat dimana hukum dapat menunjukkan perannya. Dari sinilah akan timbul legal gap antara hukum hitam di atas putih (law in the book) dengan hukum yang hidup dalam realitas masyarakat (law in action).[1]
Dalam praktik di dunia peradilan, kesenjangan (gap) yang terjadi harus tetap diisi keberlakuannya oleh Hakim sebagai penegak hukum yang memiliki pengetahuan dan kewenangan melakukan penafsiran hukum. Sejatinya setiap tindakan untuk mengisi setiap kesenjangan hukum oleh hakim yang timbul saat menghadapi fenomena-fenomena hukum dapat dikatakan sebagai penemuan hukum (rechtsvinding). Kesenjangan-kesenjangan ini dalam kaca mata penganut legisme hukum merupakan anomali dalam penegakan hukum. Anomali sendiri merupakan suatu yang buruk karena ia berpotensi menggerogoti kewibawaan hukum itu sendiri. Untuk itu hakim sekiranya dapat menjalankan tugasnya untuk tidak memelihara anomali itu melainkan mendobraknya untuk menciptakan progresifitas hukum yang juga saat ini kian berkembang. Jika anomali tersebut tidak dapat ditoleransi lagi dan telah menimbulkan banyak kekacauan hukum, maka menjadi tugas pembentuk hukum yang merevisi peraturan tersebut melalui proses legislative review.
Penafsiran hukum oleh hakim dapat dilandasi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan menahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta kekuasaan hakim lainnya yang terdapat pada Pasal 24 dan 25 terkait kekuasaan kehakiman yang mandiri dan merdeka dalam melaksanakan tugasnya.
Melalui Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini, Hakim memiliki kedudukan yang independen dan bernalar. Independensi oleh hakim ini juga penting untuk diakui negara dan harus tetap dijamin keberlangsungannya sekalipun kedudukannya sebagai hakim anggota. Antara hakim yang satu dengan hakim yang lain terkadang memiliki pemahaman yang berbeda terkait penafsiran mekanisme penegakan hukum dengan faktor latar belakang yang berbeda-beda. Hakim juga memiliki kewenangan untuk membangun sendiri pemahaman akan hukum sesuai dengan hati nuraninya. Terkadang perbedaan-perbedaan pemahaman dan penafsiran hukum oleh hakim ini sulit untuk dipersatukan atau diseragamkan. Namun terkadang juga perbedaan ini tidak menjadi suatu problema yang besar melainkan menjadi suatu hal yang dapat melahirkan alternatif penegakan hukum menuju hukum yang progresif.
Penafsiran hukum oleh hakim atau yang dikenal juga sebagai interpretasi yaitu suatu metode penemuan hukum dari peraturan yang ada namun terkadang tidak sepenuhnya tepat jika diterapkan pada permasalahan hukum tertentu. Atau sebaliknya suatu permasalahan hukum tidak memiliki pengaturan yang jelas sehingga hakim perlu menafsirkan hukum berdasarkan peraturan dasar yang berkaitan dan hati nurani. Hakim juga dituntut untuk menghadapi serta mengisi setiap kekosongan atau ketidaklengkapan peraturan dalam menegakkan hukum yang berkeadilan. Hakim dapat menemukan hukum itu untuk mengisi kekosongan dengan menggunakan metode berfikir analogi, metode penyempitan hukum, dan metode a contrario.
[1] Arif Hidayat, Penemuan Hukum melalui Penafsiran Hakim dalam Putusan Pengadilan, Jurnal Pandecta, 8(2), Juli 2013, hlm. 154
Eunike Ratna Chrisandy, S.H.
Calon Hakim Pengadilan Negeri Kendal