Negara Indonesia adalah negara hukum. Begitu yang tertulis secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berimplikasi terhadap setiap sendi aktifitas manusia dan perhimpunan manusia/badan hukum yang kemudian diwujudkan dalam bentuk undang-undang dan peraturan yang diletakkan dalam tatanan masyarakat sehingga hukum diakui sebagai tatanan hukum normatif yang memaksa dalam kehidupan manusia. Hukum sejatinya berfungsi sebagai suatu instrumen kekuasaan yang digunakan untuk menertibkan, mengatur dan merekayasa perlaku warga masyarakat seperti yang dikatakan oleh Roscoe Pound “Law is a tool of social engineering”. Hukum mengontrol perilaku manusia sedemikian rupa sehingga setiap orang akan berperilaku lurus mengikuti aturan yang ada memperkirakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Fiksi Hukum di Negara Hukum
Hukum bersifat fiksi merupakan konsekwensi dari negara hukum yang menjadikan fiksi hukum sebagai asas fundamental di mana ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan maka pada saat itu juga setiap orang dianggap tahu akan hukum tersebut walaupun faktanya tidak setiap orang tahu dan hal itu harus dikesampingkan, hal ini sangat kontradiktif dengan rendahnya kesadaran hukum masyarakat yang menyebabkan banyak orang yang terjerat dan tersandung kasus hukum sehingga hukum bukannya membuat nyaman tetapi membuat masyarakat menjadi cemas, hukum di Indonesia dianggap bagaikan pedang bermata dua yang dijadikan alat oleh orang tertentu dengan kepentingan tertentu pula sehingga ancam-mengancam menggunakan hukum menjadi senjata yang membatasi hak orang lain, apakah hal tersebut harus dimaklumi? Eksklusifitas hukum harus didegradasi sehingga tercipta hukum yang inklusif dan bermanfaat bagi setiap orang karena apabila kebutaan hukum masih ada maka orang yang buta akan hukum menjadi orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang akibat dari tindakannya sendiri, sehingga mereka hanya menyandarkan diri kepada segelintir orang yang memiliki kapabilitas dalam menafsirkan hukum bahkan dalam hal kecil sekalipun.
Hakim sebagai Penafsir Hukum
Ketidakjelasan hukum menjadi duri dalam daging bagi masyarakat yang disentuh langsung oleh hukum. Kodifikasi hukum yang kabur dan tidak jelas sangat berpotensi menimbulkan kekacauan baik itu bagi para penegak hukum maupun bagi subyek hukum yang diatur, namun kekacauan dalam norma peraturan tidak lebih kacau dari penafsiran terhadap peraturan itu sendiri. Dalam kekaburan peraturan hukum dapat diatasi dengan revisi peraturan oleh lembaga yang berwenang namun penafsiran yang kabur akan rentan dengan penyalagunaan kewenangan dan intelektualitas yang mengakibatkan terbentuknya sumber deklamasi yang rentan dan menciptakan ketidakadilan yang nyata. Dalam sistem hukum yang berwenang untuk melakukan penafsiran hukum adalah hakim dalam sistem peradilan.
Kekuasaan kehakiman pada umumnya merupakan bagian dari pemerintah berdasarkan teori trias politica yang digagas oleh Montesquieu. Dengan amanat konstitusi Pasal 24 ayat (1) yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman terletak di tangan hakim yang menjadi gerbang terakhir dalam penentu keadilan, dengan label “wakil Tuhan” di dunia maka beban berat melekat di pundak para hakim.
Hakim memiliki kebebasan dalam melihat suatu kebenaran dalam peristiwa hukum dan memutus suatu perkara, fakta persidangan yang didapat diolah dengan akal dan hati membuat keadilan dapat digapai. Hakim dalam kasus perkara tertentu dihadapkan dengan pertaruhan marwah sebagai penegak keadilan, dengan wewenang yang diberikan langsung oleh konstitusi untuk memutus secara bebas dan adil maka hakim tidak terikat dengan tuntutan JPU namun manjadikan dakwaan sebagai dasar dalam mengadili. Perlu diingat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, selain kemerdekaan bagi hakim untuk memutus perkara hakim juga diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam tataran kelembagaan, Mahkamah Agung juga tetap aktif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan tertentu untuk menjawab kekosongan ataupun relevansi norma yang dianggap telah tertinggal atau tidak cocok lagi dengan kehidupan masyarakat yang dinamis melalui Peraturan Mahkamah Agung ataupun Rapat Kamar yang menghasilkan Surat Edaran Mahkamah Agung.
Perhatian publik akan perkara tertentu seharusnya bukan dilihat sebagai pengekang kemerdekaan hakim dalam memutus perkara melainkan dapat dilihat dengan kaca mata bagaimana keadilan yang dirasakan dan hidup dalam masyarakat sejatinya, Sebab tugas hakim adalah menegakkan keadilan sesuai dengan irah-irah kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh sebab itu sorotan publik yang luas ini harus dimaknai sebagai munculnya kepercayaan publik sehingga kepercayaan dan pengetahuan masyarakat akan hukum tidak dikhianati sebagai warga negara yang hidup di negara hukum.
Alfariz Maulana Reza, S.H.
Calon Hakim Pengadilan Negeri Kendal