Judul Buku : Hukum Pembuktian
Pengarang : Prof.R.Subekti, S.H.
Impresum : PT Balai Pustaka, 2015, Jakarta Timur, Cetakan ke-19
Kolasi : Vii+84 halaman,; 14,8 x 21 cm
“Membuktikan” ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukan dalam suatu persengketaan. Pembuktian itu hanya diperlukan dalam persengketaan atau berpekara di muka Hakim atau Pengadilan. Dalam Code Civil Hukum Pembuktian diatur dalam Buku Ketiga yang memuat Hukum Perikatan. Hal-hal yang diajukan oleh satu pihak dan diakui oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan karena tentang itu tidak ada perselisihan. Dalam Hukum Acara Perdata sikap tidak menyangkal dipersamakan dengan mengakui. Membuktikan itu adalah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukan dalam suatu perkara, maka segala yang dilihat sendiri oleh Hakim di muka sidang tidak perlu dibuktikan. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan (Pasal 78 UU MA). Pembuktian fakta hanya sampai pada tingkat banding, sedangkan pemeriksaan Kasasi hanya soal penerapan hukum. Menurut Pasal 1866 KUHPerdata alat bukti dalam perkara Perdata terdiri dari: bukti tulisan, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Dalam perkara Perdata alat bukti yang utama tulisan. Apabila tidak terdapat bukti tulisan maka dibuktikan dengan orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa tersebut yang disebut dengan Saksi. Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya terbuktinya peristiwa-peristiwa lain dinamakan dengan Persangkaan. Pembuktian dengan persangkaan dinamakan dengan pembuktian secara tidak langsung. Terbayarnya tiga cicilan terakhir, berdasarakan Pasal 1394 KUHPerdata dapat disimpulkan terbuktinya pembayaran semua cicilan. Hal ini disebut dengan Persangkaan Undang-Undang. Sedangkan kesimpulan yang ditarik oleh Hakim dinamakan Persangkaan Hakim. Akta otentik merupakan bukti yang sempurna dan mengikat dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, dianggap benar selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan, serta tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Sedangkan terhadap alat bukti Saksi berdasarkan Pasal 1908 KUHPerdata memberikan pedoman kepada Hakim yang pada asasnya bebas terhadap kesaksian seseorang. Seorang Saksi harus sudah mencapai usia 15 tahun dan berpikiran sehat. Namun, Hakim dibolehkan mendengar orang-orang yang tidak memenuhi syarat tersebut tanpa disumpah, tetapi keterangan-keterangan yang diberikan hanya dianggap sebagai penjelasan dan tidak sebagai suatu kesaksian. Menurut Pasal 1905 KUHPerdata keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lain tidak boleh dipercaya dimuka Pengadilan. Tetapi aturan tersebut tidak melarang Hakim untuk menggagap suatu peristiwa yang tidak didalilkan terbukti dengan keterangan seorang saksi. Adanya kemungkinan membuktikan dalil dengan persangkaan dan adanya pembuktian berantai (Pasal 1906 KUHPerdata) menunjukkan bahwa menurut undang-undang diperbolehkan untuk membuktikan peristiwa yang berdiri sendiri dengan keterangan seorang Saksi. Larangan untuk mempercayai keterangan satu orang Saksi dimaksudkan sebagai larangan untuk mengabulkan gugatan jika dalil penggugat itu disangkal dan hanya dikuatkan oleh satu orang Saksi saja. Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 1925 KUHPerdata). Pengakuan yang mengikat dan sempurna apabila dilakukan di depan Hakim. Pengakuan tidak dapat ditarik kembali kecuali karena kekhilafan. Sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara padanya dinamakan sumpah pemutus. Sedangkan sumpah yang oleh Hakim karena jabatannya diperintahkan kepada salah satu pihak dinamakan sumpah tambahan. Hakim dapat memerintahkan sumpah untuk jumlah yang akan dikabulkannnya lazim disebut dengan sumpah penaksir.
Abdan Syakura, S.H.
Calon Hakim Pengadilan Negeri Kendal